Rabu, 18 November 2009

mana ruang hijau di jakarta.. ??

Perubahan penggunaan lahan di Jakarta, secara signifikan kota Jakarta telah kehilangan area hijau," kata ahli tata ruang (planolog) dari Universitas Trisakti, Yayat Supriyatna di Jakarta,
hasil rancangan tata ruang wilayah (RTRW) DKI Jakarta pada tahun 2010 memiliki potensi penyimpangan. Selain rawan kritik dan rawan pelanggaran, RTRW 2010 juga dinilai tidak realistis. Hal itu disebabkan karena fungsi dan tugas Jakarta terlalu tinggi, serta tanpa ketentuan jelas tentang tata ruang udara, bawah tanah, dan bawah permukaan air.

"Kesimpulan akhir, dalam pemanfaatan tata ruang lemah realitasnya. Akar permasalahannya adalah tidak ada acuan target untuk rencana tahun ini, serta tidak ada rencana anggaran," cetusnya.
ang harus diwaspadai Jakarta di masa mendatang adalah pengamanan pantai, penanganan banjir, Teluk Jakarta, Pelabuhan Marunda dan transportasi. Selain itu, Gubernur DKI juga harus didorong agar berkomitmen membuat RTH, sedikitnya 30 persen dari bangunan yang ada.

"Namun sekarang muncul fenomena liberalisasi, apapun sepertinya boleh di Jakarta. Selain itu, Jakarta jangan terlalu dibebani dengan beban kepentingan yang melebihi daya dukungnya. Bagilah dengan daerah lain," jelasnya.

Sementara itu, Guru Besar Departemen Arsitektur UI Gunawan Tjahjono menilai DKI telah mengalami krisis komposisi alam struktur pemerintah daerah. Walhasil, pengurusan tata kota menjadi bermasalah. Padahal, tata ruang kota harus diterapkan secara beradab dengan menghargai aturan-aturan.
Seperti diketahui, Jakarta memang sarat dengan berbagai macam pembangunan. Saking gencarnya, kota yang baru berulang tahun ke-64 kian disesaki 130 Mal yang minus 4 taman kota.

Beban kota Jakarta yang terlalu tinggi harus dikurangi. Seperti pembangunan mal yang dilakukan di kota, dipinggirkan saja ke pinggiran kota.

"Jangan sampai ketika sudah buruk ditinggalkan. Harus diperbaiki kinerja dan sistemnya. Jangan sampai kita hidup hanya untuk mengeluarkan biaya rehabilitasi," imbuhnya.daratan jakarta yang kurang lebih 65 ribu Ha saat ini sebanyak 67% diisi oleh bangunan gedung-gedung bertingkat. Sementara sekitar 23% lahan tidur telah mulai dikapling-kapling. "Jadi saat ini RTH 9,97%," kata pengajar Arsitek lanskap di Universitas Indonesia ini.Jakarta merupakan kota yang rawan bencana. Karena daerah banjir di Jakarta biasanya malah padat penduduk. Namun, hingga saat ini belum ada pembenahan lingkungan di daerah banjir.

"Jika tidak ada perubahan maka wilayah banjirnya akan bertambah lebih luas lagi. 2014 bisa mencapi 80%. Karena tanah di Jakarta mengalami penurunan atau amblas 4-10 cm per tahun, seperti di daerah utara
Kondisi Jakarta terakhir faktanya sekarang ini 40% daerah di bawah permukaan laut atau permukaan tanah semakin turun dengan banyaknya penambahan gedung dengan tidak adanya serapan air,
Jakarta, - Sekitar 40 persen daratan Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta berada dalam keadaan kritis di bawah permukaan laut. Anggota Dewan Perwakilan Daerah DKI, Sarwono Kusumaatmadja, yang dihubungi, Minggu (16/4), menjelaskan, kondisi itu disebabkan perubahan kondisi alam secara drastis yang tidak disadari.

"Fenomena ini bisa disebabkan pelbagai faktor, seperti turunnya permukaan daratan, naiknya permukaan air laut, ataupun keduanya terjadi simultan. Wilayah yang lebih rendah dari permukaan laut itu terdapat di Jakarta Utara, Jakarta Timur, Jakarta Pusat, dan Jakarta Barat. Bahkan, sejumlah warga di Serdang, Jakarta Pusat, melaporkan air pasang kini masuk ke Kali Serdang di sekitar pemukiman. Padahal, fenomena itu tidak pernah terjadi di masa lalu," kata Sarwono. Menurut dia, isu strategis tentang perubahan iklim harus segera dipahami oleh pemerintah, terutama para pejabat DKI. Perubahan iklim yang berpengaruh terhadap kemungkinan tenggelamnya sejumlah negara pulau di Pasifik, termasuk badai Katrina yang menghantam New Orleans, Amerika Serikat, belum dianggap serius oleh sebagian besar masyarakat. Anomali iklim ini akan semakin parah karena di Indonesia kerusakan hutan semakin tidak terkendali. Sebagai contoh, semakin mudah genangan air timbul saat hujan turun membuktikan dampak perubahan iklim dan kerusakan lingkungan. Dalam kondisi itu, lanjut Sarwono, perencanaan DKI Jakarta, terutama manajemen tata air permukaan, harus dilakukan secara terpadu. DKI harus menggandeng wilayah sekitar seperti Bogor, Tangerang, Bekasi, Depok, Puncak, dan Cianjur dalam mengatasi kondisi kritis.
"Apalagi penurunan permukaan tanah Jakarta mencapai 90 sentimeter
dalam 25 tahun terakhir, itu menuntut perubahan manajemen tata ruang.
Memang LIPI belum pernah merekomendasikan tata ruang Jakarta di bawah
permukaan air laut, tetapi ini patut diperhatikan," kata Deputi
Bidang Ilmu Pengetahuan Hayati Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI) Endang Sukara, dalam temu peneliti dan pers membahas
pengelolaan Jabopunjur (Jakarta, Bogor, Puncak, Cianjur), Jumat
(9/2).

Untuk mendorong tata ruang bawah permukaan laut saat ini,keberadaan situ-situ terutama di wilayah Jakarta Utara secara
masif perlu segera ditingkatkan. Kemudi- an dipersiapkan sistem
pengelolaan dengan pemompaan air ke laut.

"Antisipasi demikian terkait isu global tentang perubahan iklim. Ke
depan, permukaan laut selalu naik, dan permukaan tanah turun," kata
Endang.

Pada kesempatan yang sama, Wahjoe S Hantoro dari Pusat Penelitian
Geoteknologi LIPI mengatakan bahwa pemerintah perlu segera
mengidentifikasikan wilayah tergenang banjir di Jakarta yang makin
meluas tahun ini.

"Pemerintah, dalam hal ini bisa pemerintah pusat maupun Pemerintah
DKI Jakarta, harus segera menetapkan kawasan-kawasan rawan banjir dan
harus berupaya untuk membebaskannya," ungkap Wahjoe. (INE/NAW)
akhir nya terjadi berbagai macam bencana terutana banjir yang tak terbendung,
Penyebab Banjir 2007 “Mengapa tahun ini (banjir) terjadi lagi?” tanyanya kepada banjir itu kejadian yang tak bisa dihindarkan. Yang jadi soal adalah kurangnya daya tanggap pemda dalam mengurangi kerugian yang ditimbulkan. Bagaimanapun, penyelesaian banjir membutuhkan waktu yang panjang.

dan menurut saya hal ini di sebabkan karena, “Pertama, ruang terbuka hijau kita semakin susut saja dari tahun ke tahun. Ini menunjukan telah terjadinya kerusakan (lingkungan) yang dahsyat. Kedua, bantaran kali juga semakin dipenuhi pemukiman sehingga lebar sungai juga semakin mengecil. Ketiga, ini akibat keterlambatan Pemda Jakarta. Sejak 2003, BKT sudah dicanangkan, tapi sampai hari ini tidak kelar juga.”

selain itu konsep BKT sudah dirancang sejak abad 17 oleh kolonial Belanda yang menyadari Jakarta merupakan daerah yang rawan banjir. Konsep itu didesain dengan asumsi penduduk dan kondisi Jakarta yang tidak seperti hari ini. “Ini soalnya, tidak ada gagasan baru yang menyesuaikan dengan kondisi Jakarta hari ini.”

Yang Harus Dilakukan “Jadi, jika diambil hikmahnya bencana kali ini, apa yang harus dilakukan agar tidak terulang?” tanya Imam lagi.

kemudian yang pertama harus ditekankan adalah bagaimana mengurangi kerugian yang ditimbulkan akibat banjir. Ini membutuhkan komitmen dari para pemimpin daerahnya. “Sudah ada perbaikan, entah mengapa kali ini (pemda) malah lengah,” ujar anggota DPD perwakilan Jakarta ini.

perlunya penyelesaian banjir kanal timur dengan segera. “Kanalisasi timur tidak sempurna dilaksanakan. Sudah dibuat, tapi tidak serius. Tapi, jangan lupa, juga ada kendala di lapangan akibat tumpang tindih kepemilikan tanah sehingga mereka menolak istilah ganti rugi. Kita harus tangani yang 100-200 orang itu.”“Jadi,(pemda) kurang tegas ya?” pancing Imam. Bibit mengelak dengan menjawab, “Ini masalah yang kompleks.”

adapun tindakan yang dilakukan harus diawali dengan asumsi bahwa pada dasarnya setiap orang akan bersedia melakukan sesuatu untuk tujuan yang baik. Berdasarkan itu, pertama, ia menawarkan untuk menghentikan dengan segera penurunan permukaan tanah Jakarta sehingga tidak semakin luas wilayah Jakarta yang berada di bawah permukaan air tanah. Sebab jika itu terjadi, Jakarta niscaya selalu berada di bawah ancaman kebanjiran dari waktu ke waktu.

“Permukaan tanah di Jakarta turun terus tiap tahunnya. Jika kini 40% wilayah Jakarta sudah lebih rendah dari permukaan laut, tanpa upaya menghentikan penurunan permukaan air tanah, maka semakin luas wilayah Jakarta bakal di bawah permukaan laut,
, penurunan air tanah disebabkan karena banyak rumah membuat pantek untuk menyedot air tanah. “Jadi, solusinya, (pemda) harus memastikan pasokan air bersih 100% dari PDAM sehingga tak ada lagi rumah tangga yang memantek air tanah,” terangnya.

“Loh, ini kan banjir kiriman?” sergah Imam yang langsung dijawab Faisal,”dari abad 17 juga sudah diketahui, Jakarta bakal selalu mendapat banjir kiriman. Jadi, kita perlu memastikan bagaimana aliran itu tak menimbulkan bencana.”



kita perlu memastikan “jalan tol” buat air. Aliran air harus dipastikan tidak terhadang belokan dan atau penyempitan. Contohnya, ada rumah pejabat negara di Kebagusan yang membelokan air. Juga ada pemukiman mewah yang membendung. Jika terhadang, air bakal meluber kemana-mana,” paparnya.

Daerah Yang Rusak: Di mana? Mendapat amunisi itu, Imam langsung menohok pada masalah yang lebih sensitif tapi sekaligus membuat penonton bisa memahami dimana posisi para tamunya dalam menyikapi bencana banjir. “Contoh yang paling brengsek daerah mana?” tanyanya.

“Kapuk. Tahun 1982 itu masih hutan lindung. Kini tinggal 32% yang masih jadi hutan, sisanya sudah beralih fungsi. “ tukas Faisal yang langsung mengimbuhi dengan menyebut nama Tendean Square.

Setelah didesak lebih lanjut mantan Pangdam ini hanya bilang tidak tahu persis daerah yang wilayah mana yang paling rusak parah di Jakarta.

Sarwono enggan menyebut dengan istilah daerah yang paling brengsek atau rusak parah sebagaimana dikatakan Imam. “Melanggar alam, ya, contohnya Kelapa Gading. Area resapan airnya di sana sudah hilang. Ini belum tentu melanggar peraturan, loh,” ingatnya.

Pengaturan Bencana Pada sesi berikutnya, Imam yang juga pengajar di UI ini mulai mengutak-atik keberadaan Badan Kordinasi Penanggulangan Bencana. Badan ini dibentuk atas dasar Peraturan Pemerintah. “Menurut Anda, bisakah PP ini menangani bencana seperti banjir ini, “ tanya Imam sambil melambaikan PP itu dengan tangan kanannya.

Faisal dengan tegas menyatakan, PP itu terbukti tidak bisa menyelesaikan bencana. Ia menyebut sejumlah daerah bencana sebagai bukti konkritnya. Aceh, Nias, Yogyakarta merupakan bukti nyata bahwa PP itu tidak bisa digunakan untuk menangani bencana, termasuk banjir badang yang melanda Jakarta tahun ini. “Banjir kok dibirokratisasikan. Kalau harus koordinasi, keburu pada kelelep semua,” tukasnya.

Karena itu, ia mengajak untuk mencontoh yang sudah ada di negara lain. “Di Belanda, umpamanya, ada yang namanya Dewan Air. “Tugasnya jelas, SOP-nya jelas. Ada tidak ada bencana dia bekerja terus. Melakukan riset dan pemantauan. Pada saat terjadi bencana, dia yang langsung memimpin penanganan. Dengn otoritasnya dia bisa memakai sumber daya yang ada di instansi lain.Jadi, bukan ditangani oleh pejabat biasa.”ujarnya.

Meski agak berbeda, Sarwono sepakat mengenai lemahnya prinsip koordinasi dalam PP tersebut. Menurut Sarwono, persoalannya bukan pada PP itu. Tapi, pada ketiadaan UU yang memayunginya. “Perlu ada kejelasan dengan apa yang disebut dengan keadaan darurat. Istilah kordinasi pada badan yang menangani bencana itu tidak tepat. Bencana itu kan seperti perang, masak kordinasi. Yang diperlukan itu komando!”

Hanya Bibit yang bersikukuh, PP itu tak salah. “Tidak salah, aplikasinya saja yang tidak pas,”

Siapa yang Bersalah? seorang gubernur itu bertanggung jawab terhadap apa yang terjadi dan tidak terjadi di wilayah yang dipimpinnya. Tapi, ini bukan tanggung jawab gubernur semata. “Fauzi Bowo (wakil gubernur) juga harus bertanggung jawab. Dia itu kan ibaratnya wakil komandan. Faisal menegaskan, ini bukan semata kesalahan pemerintah daerah. Pemerintah pusat juga punya andil.

Meski demikian, tak ada yang mengelak, persoalan banjir bukan hanya perkara dan urusan di Jakarta saja. Banjir juga berkaitan dengan kondisi hulu sungai yang berada di daerah-daerah lain. Pertanyaannya, mengapa kerjasama antar wilayah ini susah sekali?

gubernur DKI tidak bisa memerintah daerah lain, karena kepentingannya berbeda-beda. Karena itu, ia mendesak pemerintah pusat untuk mengambil alih. tidak puas dengan jawaban itu mengejar lebih lanjut, “Jadi, pusat atau daerah yang salah?” Bibit menjawab singkat, “Pusat”. Tapi, “Pusat itu luas, yang mana?”, “PU”. Jawaban ini segera disergah Sarwono. Katanya, “Tidak seluruhnya.”


“Bukan itu pendirian saya. Kita perlu mengedepankan pendekatan baru dalam hal urusan kerjasama antar wilayah. Semangatnya harus bekerjasama atas dasar saling berbagi manfaat. Win-win-lah. Jadi, kita tak perlu menunggu intervensi pemerintah pusat. Kalau (pemerintah) pusatnya begini-gini saja seperti sekarang ini, nggak bakalan maju (semuanya). Kita harus progresif.” Tandasnya
jadi kesimpulan nya untuk mengatasi masaalah di ibu kota kita tercinta perlu kesadaran dari semua pihak...bukan cuma pemerintah nya saja....
penyebab nya:
1. perubahan iklim
2. mencair nya es di kutub
3. gas yang merusak atmosfer
4. kemajuan teknologi
5. tidak ada nya kesadaran masyarakat

dan semua itu merupakan sebab dan akibat dari pemansan global.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar